menu

https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&ved=2ahUKEwjN0Z_Tk7TiAhVBtI8KHRl4CCgQjRx6BAgBEAU&url=https%3A%2F%2Fen.wikipedia.org%2Fwiki%2FGIF&psig=AOvVaw1AKbX0Vg1rdLDfDX8kxe-H&ust=1558786840533854

Minggu, 04 Januari 2015

Ayahku Bukan Ustadzku



Bisa jadi dan sangat mungkin ayah adalah sosok tak berilmu, tak hafal dan paham al-Qur’an, dan tak pernah duduk di majelis ilmu. Dan barangkali begitu pula dahulu keadaan leluhurnya walaupun pelaksanaan kewajiban shalat, zakat, dan lainnya tetap terlakasana.
Ayah pula adalah sosok yang berterik mentari di luar sana, bekerja di ladang. Keringatnya selalu saja membasahi pakaiannya untuk tetap menjadi penopang ekonomi keluarga sehingga tak berkesempatan mengajak atau mengajarkan engkau ayat-ayat langit, kalam-Nya yang mulia.
Atau ianya adalah sosok selalu tersapu oleh udara AC dalam ruangan untuk bergulat dengan lika-liku pekerjaan kantor yang menumpuk demi mencari sesuap nasi untuk keluarga. Hanya lemah dan letih tersisa di rumah. Ujungnya, dahulu, pendidikan agamamu begitu terabaikan, tak tersentuh.
Dan kini, ayah hanya menjadi kenangan tersimpan apik dalam album memori karena Allah berkehendak bahwa dialah yang lebih dahulu menghadap Rabb alam semesta.
Tetapi itu adalah ketetapan langit dan telah terjadi. Ingatan masa lalu yang membulirkan air mata tak akan pernah sedikitpun mengubah suratan takdir selamanya. Biarlah, biarlah itu menjadi alur masa silam yang telah terkisahkan untuk menjadi momen berharga di hari ini dan di hari esok sambil menggerombolkan do’a untuk ayah dan para leluhurnya.
Lebih dari itu, ada segenggam tugas yang tersirat dalam petikan takdir, sebuah PR di akhir zaman ini untuk menjadikan diri lebih berkualitas dan berkemilau dari segi ilmu sebagai bekal terindah dan berharga untuk anak-anak kita kelak. Sehingga mereka tak hanya berada dalam pangkuan dan semata buaian namun larut jua dalam pendidikan kita sebagai ayahnya, sebagai ustadznya.
Jika menengok cermin mutiara masa lalu yang indah bercahaya nan harum semerbak, didapati tak sedikit para ulama lahir dari madrasah dan didikan berkualitas sang ayah.
Ahmad bin ‘Abdul Halim namanya yang lebih tenar dengan panggilan Ibnu Taimiyyah, sang Syaikhul Islam yang karya-karyanya melintasi dimensi waktu. Ianya adalah mutiara dan bintang zaman yang terdidik apik dalam mercusuar ilmu sang ayah.
Mata kami terkagum terkagum dan berbinar karena ianya adalah keluarga bintang yang menyinari cahaya Islam dengan wasilah ilmu. Tentang keluarganya, para ulama menyebutkan:
كان جده كالقمر وكان أبوه كالنجم وكان هوا كالشمس
Seperti rembulan kakeknya, bak bintang ayahnya dan Ibnu Taimiyyah sendiri ibarat mentari.”[1]
Para ulama menyebutkan dalam biografi Ibnu Taimiyyah bahwa diantara ratusan gurunya, ilmu sang ayah lah yang paling banyak ia serap.[2].
Kakek dan ayahnya adalah seorang ulama dan mereka saling mewarisi ilmu turun temurun dalam keluarga. Sang ayah menjadi ustadz sang anak dan sang anak menjadi murid sang ayah.
Begitu pula para salaf dahulunya, anak-anak mereka adalah murid pertama dan utama yang menjadi objek pengajaran di rumah. Dengan kata lain, mereka adalah guru dan ustadz untuk anaknya masing-masing, tak semata hubungan anak dan ayah.
Kami menemukan ungkapan imam Malik yang mengisahkan keindahan pengajaran para salaf untuk buah hati di rumah mereka. Imam Malik mengatakan:
كان السلف يعلمون أولادهم حب أبي بكر وعمر كما يعلمون السورة من القرَآن
Dahulunya para salaf mengajarkan anak-anak mereka untuk mencintai Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana mengajarkan surat dalam al-Qur-an.”[3]
Mereka telah mampu menciptakan episode dan kenangan terindah bagi anak-anak untuk menjadi bekal mengarungi kehidupan. Dan ini tumbuh dari dorongan iman jauh sebelum menikah bahwa anak-anak mestilah menjadi murid bagi sang ayah.
Beranjak lebih dekat lagi ke zaman nubuwwah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika menyebutkan akan ada hari-hari di akhir zaman nanti dimana ilmu lenyap terangkat, lantas para sahabat bertanya keheranan:
كيف يذهب العلم وقد قرأنا القرآن وأقرأناه نساءنا وأبناءنا
Bagaimana mungkin ilmu lenyap sementara kami membaca al-Qur’an dan kami membacakannya (mengajarkannya -ed) untuk istri dan anak-anak kami?”[4]
Kepada sang Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, para sahabat mengungkapkan aktifitas ilmiah mereka di rumah bahwa mereka membaca dan mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak. Tersirat bahwa mereka adalah ustadz dan mu’allim (pengajar) bagi buah hati.
Sungguh kita tersadar, diri ini bukanlah sosok Ibnu Taimiyah yang tumbuh dalam didikan dan pendidikan ‘Abdul Halim, ayahnya, hingga ia tumbuh menjadi mutiara pengemilau zaman hingga hari ini. Kita pun bukan ‘Abdul Halim seorang ulama yang tumbuh dalam didikan dan pendidikan kakek Ibnu Taimiyyah yang berilmu dan mampu mendidiknya hingga ia menjelma menjadi ulama.
Tetapi harapan yang terkomposisikan dengan do’a dan usaha untuk menjadi ayah yang baik sekaligus ustadz bagi buah hati kelak akan selalu ada karena detak jantung ini masih berdegup dan ruh masih berada dalam raga.
Biarlah ingatan masa lalu bahwa “ayahku bukan ustadzku” terkenang dalam memori saja karena telah menjadi suratan takdir. Lalu diri berjanji sepenuh hati, kelak akan menjadi panutan bagi anak-anak guna berusaha menyelamatkan mereka dari api akhirat, tak hanya dari api dunia; dan menjadi pengajar agama buat mereka, tak hanya menjadi semata ayah dalam talian hubungan darah.
Siap menjadi suami dalam balutan bingkai pernikahan sejatinya siap menjadi guru bagi istri dan anak-anak. Maka “Anakku adalah muridku” mesti terpatri dalam hati semenjak kini walaupun diri tak tahu kapan ia menggenapkan separuh agamanya.

End Notes:
[1] Lihat Taisiyr Rabb al-Bariyyah fiy Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, Dar Ibnu Jauziy, Saudi Arabia, hal 9
[2] Ibid
[3] Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnnah, juz 7, hal 1240, dalam Kun Salafiyyan ‘alal Jaddah.
[4] Lihat Shahih Washaya ar-Rasul, hal 256, jilid 1, Dar at-Taufiqiyah li at-Turats, Mesir.

Raihlah Enam Keuntungan Menggunakan Kalender Hijriyyah


Bismillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Suatu fenomena yang menyedihkan, banyak di antara kaum muslimin yang masih asing dengan kalender mereka sendiri, bukan hanya orang awamnya, namun juga thalabatul ‘ilmi (penuntut ilmu agama) di antara mereka. Padahal di dalam penggunaan kalender Hijriyyah terdapat banyak barakah dan keuntungan. Sayangnya, banyak dari kaum muslimin tidak mengetahui keuntungan-keuntungan yang didapatkan dengan penggunaan kalender Hijriyyah dalam kesehariannya. Nah, berikut enam keuntungan yang bakal Anda dapatkan jika Anda menggunakan kalender Hijriyyah,

1. Menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Ketauhilah,berkalender Hijriyyah merupakan perintah Allah, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”(QS. Al-Baqarah: 189).
Sisi pendalilan
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hilal (bulan sabit) sebagai tanda mulai dan berakhirnya bulan, maka dengan munculnya hilal dimulailah bulan baru dan berakhirlah bulan yang telah lalu. Dengan demikian, hilal-hilal itu sebagai patokan waktu dalam kehidupan manusia dan ini menunjukkan bahwa hitungan bulan adalah Qamariy (berdasarkan peredaran bulan) karena keterkaitannya dengan peredaran bulan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,Maka Dia (Allah) mengabarkan bahwa hilal-hilal itu adalah patokan waktu bagi manusia dan ini umum dalam setiap urusan mereka, lalu Allah menjadikan hilal-hilal itu sebagai patokan waktu bagi manusia dalam hukum-hukum yang ditetapkan oleh syari’at, baik sebagai tanda permulaan ibadah maupun sebagai sebab diwajibkannya sebuah ibadah dan juga sebagai patokan waktu bagi hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan syarat yang dipersyaratkan oleh seorang hamba.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa  berkalender Hijriyyah merupakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,
إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له
Apabila kalian melihat hilal (awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya (pada akhir bulan) maka berbukalah (Idul Fithri). Maka apabila (pandangan) kalian tertutupi mendung genapkanlah bulan dengan tiga puluh“(HR. Al-Bukhari 2/674, Muslim 2/762).
Sisi pendalilan
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan akhir bulan Sya’ban dan masuknya bulan Ramadhan dengan melihat hilal dan diqiyaskan dengan hal ini bulan-bulan yang lain.
Fadhilatusy Syaikh Dr. Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin rahimahullah berkata,
Aku wasiatkan kepada umat ini dan pihak yang berwenang di negeri kaum muslimin di manapun berada untuk berpegang teguh dalam penanggalan mereka dengan kalender Hijriyah dalam rangka menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dalam rangka berpegang teguh dengan Sunnah Khulafa ar-Rasyidin dan Ijma’ (kesepakatan) sahabat, dan sebagai bentuk kebanggaan dengan apa yang telah disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala(Istikhdamut Tarikhil Miladi,http://www.dorar.net/art/223).

2. Berpegang Teguh Dengan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan Ijma’ Sahabat

Berkalender Hijriyyah merupakan bentuk berpegang teguh dengan Sunah Khulafa Ar-Rasyidin dan Ijma’ sahabat, mengapa?
Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahihnya,
Bab Penanggalan. Darimana mereka menentukan penanggalan?
عن سهل بن سعد قال ما عدوا من مبعث النبي صلى الله عليه وسلم ولا من وفاته ما عدوا إلا من مقدمه المدينة
“Dari Sahl bin Sa’ad berkata, Mereka (para Sahabat) tidaklah menghitung (penanggalan) berdasarkan saat diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula berdasarkan wafat beliau, namun hanyalah berdasarkan awal tahun masuknya beliau ke kota Madinah (Hijrah)”.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan tentang sejarah asal pencanangan kalender Hijriyyah, bahwa Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu ditegur oleh Abu Musa radhiallahu ‘anhu ketika menulis surat tanpa tanggal lalu Umar pun memerintahkan orang-orang untuk membuat penanggalan dengan dasar hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka pun melakukannya (http://library.Islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=7151&idto=7154&bk_no=52&ID=2186).
Berarti nampak dari penjelasan di atas, bahwa pencetus kalender Hijriyyah adalah salah satu dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin, yaitu Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu dan diikuti oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum tanpa ada penentangan sedikit pun, ini menandakan telah terjadi ijma’ (kesepakatan) di antara mereka.

3. Berkalender Hijriyyah Berarti Memudahkan Kita Mengetahui Waktu-Waktu Ibadah

Banyak waktu-waktu ibadah yang ditentukan dengan kalender Hijriyyah, misalnya tentang ibadah haji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al-Baqarah: 189).

4. Berkalender Hijriyyah artinya mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyelisihi musyrikin

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum memerintahkan kita untuk menyelisihi perkara yang menjadi ciri khas kaum musyrikin, beliau bersabda,
خالفوا المشركين
“Selisihilah kaum musyrikin!” (Muttafaqun ‘alaihi).
Sedangkan nashara serta romawi sebagai biang kerok munculnya kalender masehi adalah bagian dari kaum musyrikin. Maka, kita dituntut untuk menyelisihi mereka dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka (diantaranya dalam masalah berkalender masehi)  (baca Tahukah Anda 5 Rahasia dibalik kalender masehi?).

5. Berkalender Hijriyyah Menunjukkan Keterikatan Diri Kita dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam

Hal ini karena dasar perhitungan kalender Hijriyyah adalah berdasarkan hijrahnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga membuat setiap orang yang berpenanggalan dengan kalender ini akan mengingat hjrah dan perjuangan Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta mengingatkan pada peristiwa-peristiwa Islam dan keadaan-keadaan kaum muslimin di masa lalu. Selanjutnya diharapkan setiap muslim yang berkalender dengannya akan bisa mengambil suri tauladan dari Nabinya shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.

6. Berkalender Hijriyyah Artinya Mengibarkan Bendera Syi’ar Umat Islam dan Simbol Kekokohan Jati Diri Mereka

Umat Islam bukan umat pengekor. Umat Islam adalah pemimpin dunia. Khalifatun fil ardh, maka tentunya tidak pantas kalau mengambil simbol kuffar dengan penanggalan masehi. Bahkan seorang muslim diperintahkan untuk memiliki jati diri yang khas.
Wa shallallahu ‘ala Muhammadin wa ‘ala Alihiwa Shahbihi wa sallam, wa Akhiru Da’waanaa anil Hamdulillah Rabbil ‘Alamin.